Breaking News

Analisis Budaya Hedonisme Generasi Z: Implikasi terhadap Tatanan Sosial dan Industri Kopi.

Oleh : Olgar 

topikterkini. Id--Fenomena menjamurnya coffee shop di berbagai kota di Indonesia tidak hanya merepresentasikan gaya hidup konsumtif, tetapi juga perubahan nilai sosial dan pola perilaku generasi muda, terutama Generasi Z. Gaya hidup bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi bagaimana kita terlihat melakukannya. Pencitraan dan representasi menjadi sangat penting dalam membentuk identitas sosial (Kurniawan, 2024). Hedonisme adalah budaya bagi beberapa anak muda yang tidak dapat dihindarkan, Hedonisme adalah suatu pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan serta pemuasaan materi adalah tujuan utama hidup (Rahmat et al., 2020). Sekarang ini adalah era dimana upaya untuk meningkatkan citra seseorang apalagi Gen-Z atau mereka yang lahir di tahun pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2010-an adalah terletak pada seperti apa pola hidup yang diterapkan dengan hal tersebut terbitlah satu budaya yang dijadikan acuan oleh Gen-Z budaya tersebut adalah budaya nongkrong dikalangan pemuda “jika saya tidak nongkrong maka saya tidak gaul”. Dimasa modernisasi ini, Gen-Z mulai sangat   memperhatikan penampilan mereka   dan bagaimana   orang   lain   memandang   mereka.   Generasi   Z sering menampilkan simbol-simbol status sosial   seperti   pakaian, aksessoris, kendaran, tempat   mewah yang mereka datangi dan hal-hal lain yang dianggap   dapat mengangkat  status  sosial  mereka (Bado et al., 2023). Gen-Z untuk berkunjung ke Coffe Shop favoritnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diantaranya, berdiskusi, mengerjakan tugas, main game, berpacaran dan sebagainya yang disebut sebagai budaya nongkrong. Jika Gen-Z dikenal sebagai pola konsumsi yang praktis maka hal tersebut melahirkan satau pandangan dimasyrakat awam bebrapa menganggap bahwa nongkrong adalah budaya yang negatif dengan mendikotomikan budaya tersebut kepada hal-hal yang sifatnya hedonisme yang jika diartikan dalam KBBI Hedonisme berarti cara pandang hidup yang mengedepankan gaya dan kesenangan materi semata, untuk menanggapi “cibiran” tersebut Gen-Z menganggapnya sebagai satu hal wajar-wajar saja dikarenakan mereka melakukan hal yang menurutnya benar. Jika hedonisme dianggap sebagai satu kebiasaan yang negatif utamanya dikonotasikan pada budaya nongkrong hal tersebut masih bisa kita arahakn ke arah yang lebih positif atau ter arah, seridaknya ada beberapa indikasi terhadap kebiasaan tersebut, sejalan dengan apa yang dikatakan (Muawanah, 2019) Berbicara mengenai gaya hidup tidaklah selalu berarti negatif. Orang dapat menjalankan suatu pola gaya hidup yang sehat berlandaskan rasio dan logika. Tetapi terkadang gaya hidup yang dijalani sebagian orang, justru hanya didasarkan pada prinsip kesenangan semata. Dalam  fenomena  ngopi  di  coffee  shop  ini  ditunjukan  dari  aktivitas  ngopi  di  coffee  shop  yang melibatkan orang lain. Seperti pasangan, teman maupun keluarga. Aktivitas ngopi di coffee shop juga memberikan pandangan yang buruk dari orang lain. Dari ketujuh informan tersebut memandang orang lain  yang  sama  melakukan  aktivitas  ngopi  ini  memang  cenderung  menghabiskan  uang  sehingga pandangan negatif tentang aktivitas ngopi ini pasti ada (Azzahra et al., 2023). Gaya hidup membawa manusia pada warna baru dalam kehidupan. Namun, apabila gaya hidup tersebut sudah berorientasi pada kesenangan dan hurahura semata tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan sosial dan menyuburkan nilai-nilai negatif dalam kehidupan, maka hal ini dapat dikatakan sebagai gaya hidup menyimpang. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa maraknya kedai kopi bukan sekadar cerminan perilaku konsumen Generasi Z, melainkan juga cerminan perubahan nilai, identitas, dan cara berinteraksi sosial dalam kehidupan modern.​ ​ ​​​​​ Budaya nongkrong di kedai kopi menawarkan ruang baru bagi kaum muda untuk menegosiasikan citra diri, memperluas jaringan sosial, dan mencari validasi eksistensial dalam budaya digital yang bergerak cepat. Di sisi lain, praktik ini juga menunjukkan ambiguitas antara hedonisme dan ekspresi diri, antara konsumsi dan kreativitas, serta antara gaya hidup dan kebutuhan sosial. Oleh karena itu, penting untuk dikaji lebih mendalam bagaimana budaya nongkrong ini membentuk struktur sosial baru dan menjadi peluang strategis bagi pengembangan industri kopi dan strategi pemasaran yang berorientasi pada nilai - nilai sosial budaya generasi muda.​​​​
Referensi Terhadap Rasa
Gen-Z memiliki selera yang lebih baik untuk dijadikan referensi oleh setiap kedai kopi, setiap mereka yang gemari terhadap kopi tentu mengulik beberapa jenis-jenis kopi,mulai dari pemilihan biji kopi tentu Gen-Z peka terhadap hal tersebut, tidak sedikit dari mereka berpindah-pndah CoffeShop untuk membandingkan setiap rasa pada kedai-kedai kopi, terlebih didominasi oleh Gen-Z melek terhadap pemanfaatan media sosial yang menjadikan bekal pengetahuan mereka sehingga menjadi topik diskusi bagi Costomer dan barista setiap kedai kopi. Bahkan tidak sedikit dari mereka jika memesan menu Favoritnya melakukan interaksi terlebih dahulu terhadap barista untuk memilih jenis biji kopi yang akan diseduh pada kopi yang akan ia pesan. Dari fenomena tersebut banyak para pelaku usaha yang memanfaatkannya dengan memberikan pilihan yang menarik bagi kedai kopinya, memberikan sajian kopi dari berbagai daerah untuk menambah nilai atau daya tarik dengan metode- metode seduhan yang tentunya bervariasi.  Dapat dilihat bahwa sebagian besar Gen Z menghabiskan uangnya untuk makanan terus untuk pakaian dan perangkat elektronik. Fakta ini memberikan poin kuat bahwa sebagian besar Gen Z akan menganggap serius makanan dan minuman dalam hidup mereka. Berdasarkan alasan itu, dalam beberapa tahun ke depan akan ada permintaan yang besar terhadap produk makanan dan minuman termasuk kopi dan nongkrong di kedai kopi (Malini, 2021). 
Implikasi Terhadap Tatanan Sosial
Coffee shop berfungsi sebagai ruang ketiga (third place) setelah rumah dan tempat kerja, di mana interaksi sosial lintas latar belakang terjadi. Namun, ruang ini juga merefleksikan adanya stratifikasi sosial baru antara mereka yang mampu mengakses ruang estetik tersebut dan yang tidak. Nongkrong di coffee shop seringkali diiringi aktivitas digital seperti membuat konten, memotret produk, dan berbagi di media sosial. Ini menciptakan hybrid social interaction: interaksi fisik dan virtual yang saling memperkuat, tetapi juga berpotensi menggeser makna “keintiman sosial” menjadi “performativitas sosial”. Juga, Generasi Z cenderung mencari pengalaman yang lebih dari sekadar konsumsi produk, bahkan tidak jarang berkeinginan untuk melakukan interaksi melalui ruang fisik dan digital dengan produk yang mereka minati (Lestari, 2020).
Implikasi terhadap Industri Kopi Segmentasi dan Positioning Pasar
Pelaku bisnis kopi kini menargetkan Gen Z dengan strategi lifestyle branding. Cita rasa kopi tidak lagi sekadar faktor utama; desain interior, musik, koneksi internet cepat, hingga narasi keberlanjutan menjadi bagian dari proposisi nilai. GenZ menjadi target segmentasi pasar dikarenakan menurut (Sofyan et al., 2024) Kopi bukan lagi sekadar minuman, melainkan bagian penting dari lanskap sosial yang terus berubah yang mencerminkan dinamika kelas, status sosial, dan gaya hidup masyarakat urban masa kini. Aktivitas ini telah menjelma menjadi ritual kolektif yang mencerminkan realitas sosial, Sejalan dengan penelitian (Purnomo, 2025) Dalam upaya menciptakan suasana yang nyaman, mereka berfokus pada desain interior yang menarik dan pelayanan yang hangat, sehingga pelanggan merasa betah untuk berlama-lama, baik saat nongkrong bersama teman maupun menikmati waktu sendiri. Beberapa hal pendukung perilaku konsumen yang melandasi keputusan generasi muda untuk nongkrong pada sebuah kafe utamanya coffee shop dibagi menjadi berkaitan dengan diri, sosial, tugas/pekerjaan, dan gaya hidup. Fenomena ngopi menjadi semakin melekat dengan adanya budaya work from cafĆ© yang digaungkan sebagai alternatif bekerja diluar kantor. Pemilik bisnis kafe maupun kedai kopi perlu untuk mempertimbangkan beragam faktor pendukung putusan pemilihan lokasi kafe yang dituju, guna mengetahui strategi pengembangan bisnis yang tepat (Nindhita & Arifin, 2024). Pendekatan pemasaran yang efektif pada budaya nongkrong Gen Z menuntut pemahaman bahwa nilai produk tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga sosial dan emosional. Strategi  ini  menunjukkan  fokus pada  pasar  anak  muda,  khususnyakelompok  usia  17–35  tahun  yang memiliki  preferensi  tinggi  terhadap aspek estetika dan gaya hidup digital (Kristina et al., 2025). Searah dengan apa yang dikatakan (Kusumawanti & Chaniago, 2024) bahwa Strategi pemasaran melalui kelompok referensi dapat dikatakan menjadi alat pemasaran efektif bagi Interaksi Space dalam menarik target konsumen yang lebih luas, mengingat bagaimana karakteristik Generasi Z yang menjadikan tren nongkrong di kedai kopi sebagai upaya untuk meningkatkan status sosial mereka. Dengan demikian, manajemen pemasaran dalam industri kopi modern harus mengintegrasikan nilai sosial, budaya, dan keberlanjutan dalam setiap strategi bisnis dengan menjadikan Gen-Z sebagai salah satu referensi dalam menunjang industri kopi.
Kajian literatur menunjukkan bahwa budaya nongkrong di coffee shop pada Generasi Z merupakan fenomena multidimensi yang menggabungkan unsur ekonomi, sosial, dan kultural. Hedonisme tidak semata bermakna negatif, melainkan menjadi cermin perubahan cara pandang terhadap kebahagiaan dan eksistensi sosial. Coffee shop berfungsi sebagai third place yang mempertemukan interaksi sosial dan digital, membentuk tatanan sosial baru berbasis pengalaman danp erformativitas. Dalam konteks manajemen pemasaran, pelaku usaha perlu memahami bahwa nilai kopi tidak hanya pada rasa, tetapi juga pada cerita, ruang, dan gaya hidup yang menyertainya. Oleh karena itu, strategi pemasaran yang mengintegrasikan nilai sosial, budaya, dan keberlanjutan menjadi keharusan dalam menjangkau Generasi Z sebagai segmen utama industri kopi modern.
Budaya Nongkrong sebagai Representasi Identitas Sosial Generasi Z
Aktivitas nongkrong di coffee shop bagi Generasi Z tidak lagi sebatas kebutuhan rekreasi, melainkan menjadi sarana pembentukan identitas sosial. Sebagian besar informan mengaku bahwa nongkrong di tempat yang “estetik” dan “instagramable” menjadi bagian penting dalam menunjukkan eksistensi diri di media sosial. Aktivitas seperti memotret minuman, mengunggah suasana tempat, atau melakukan selfie bersama teman dianggap sebagai bentuk ekspresi diri sekaligus strategi pencitraan digital. Temuan ini sejalan dengan pandangan (Kurniawan, 2024) bahwa gaya hidup modern tidak hanya diukur dari aktivitas yang dilakukan, melainkan dari bagaimana seseorang menampilkan dirinya kepada publik. Dengan demikian, nongkrong menjadi bentuk performativitas sosial yang mengaburkan batas antara hiburan dan kebutuhan sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa coffee shop berfungsi sebagai ruang simbolik, tempat di mana Gen Z menegosiasikan identitas, status, dan penerimaan sosial di tengah tekanan budaya visual dan digital.
Hedonisme dan Ambiguitas Nilai dalam Budaya Nongkrong
Fenomena ini memperlihatkan ambiguitas nilai — antara hedonisme dan produktivitas. (Rahmat et al., 2020) menilai hedonisme sebagai pandangan hidup yang berorientasi pada kenikmatan, sementara (Muawanah, 2019) menegaskan bahwa gaya hidup tidak selalu negatif jika dijalankan secara rasional. Dalam konteks ini, hedonisme Generasi Z cenderung bersifat fungsional: mencari kepuasan emosional dan sosial yang tetap memiliki nilai produktif, seperti bekerja remote, berdiskusi, atau belajar di coffee shop. Hasil ini juga mengindikasikan adanya transformasi makna hedonisme dari orientasi konsumtif menjadi orientasi ekspresif, di mana kesenangan diartikan sebagai sarana meneguhkan eksistensi sosial dan identitas digital.
Coffee Shop sebagai Ruang Sosial Baru (Third Place)
Coffee shop berperan sebagai ruang ketiga (third place) setelah rumah dan kampus/tempat kerja. Banyak pengunjung datang bukan semata untuk menikmati kopi, melainkan untuk berinteraksi, bekerja, bahkan membangun jejaring komunitas. Suasana nyaman, akses internet cepat, dan desain interior yang mendukung produktivitas menjadi daya tarik utama bagi Gen Z. Hal ini menguatkan konsep (Oldenburg et al., 1989) yang menyebut third place sebagai ruang informal yang membangun kohesi sosial. Namun, hasil penelitian juga menemukan adanya transformasi ruang menjadi bentuk hybrid social space, sebagaimana dijelaskan (Lestari, 2020) dimana aktivitas sosial fisik berpadu dengan aktivitas digital seperti posting, live streaming, atau content creation. Dengan demikian, coffee shop bukan hanya tempat bersosialisasi, tetapi juga panggung sosial yang mempertemukan realitas fisik dan virtual. Nongkrong menjadi aktivitas dua dimensi — hadir secara nyata di meja kopi, sekaligus hadir secara simbolik di dunia maya.
Implikasi terhadap Strategi Pemasaran dan Industri Kopi
Dari hasil analisis ditemukan bahwa pelaku usaha kopi kini menargetkan Generasi Z sebagai segmen utama pasar melalui pendekatan lifestyle branding. Setiap elemen bisnis — mulai dari desain ruang, pemilihan musik, hingga narasi media sosial — dikonstruksi untuk membangun citra “kopi sebagai gaya hidup”. Wawancara dengan dua barista dan satu pemilik coffee shop menunjukkan bahwa pelanggan Gen Z seringkali terlibat aktif dalam memilih jenis biji kopi, metode seduh, dan bahkan berdiskusi mengenai asal-usul kopi. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran perilaku konsumen dari sekadar pembeli menjadi co-creator experience. Sejalan dengan (Qurniawati et al., 2025) nilai produk bagi Gen Z tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga emosional dan sosial. Strategi pemasaran yang efektif harus mampu membangun community engagement dan storytelling yang resonan dengan nilai-nilai keberlanjutan, kreativitas, dan ekspresi diri. (Kusumawanti & Chaniago, 2024) menegaskan bahwa kelompok referensi sosial memainkan peran penting dalam keputusan konsumsi Gen Z, di mana validasi digital dari teman sebaya seringkali lebih berpengaruh dibandingkan iklan konvensional.
Nongkrong sebagai Fenomena Sosial dan Ekonomi Kreatif
Fenomena nongkrong di coffee shop pada akhirnya bukan sekadar refleksi gaya hidup konsumtif, tetapi juga menjadi bagian dari ekosistem ekonomi kreatif. Coffee shop kini berfungsi sebagai ruang kolaborasi antara pelaku usaha, komunitas kreatif, dan konsumen muda.
Banyak kegiatan produktif lahir dari ruang ini — mulai dari diskusi, pertunjukan musik akustik, hingga pop-up market lokal. Dengan demikian, budaya nongkrong berperan dalam membangun cultural capital baru bagi kota-kota modern, sekaligus memperkuat dinamika ekonomi mikro. Hal ini menunjukkan bahwa budaya nongkrong Gen Z, meskipun sering dikaitkan dengan hedonisme, sesungguhnya memiliki potensi ekonomi dan sosial yang signifikan jika dikelola secara kreatif dan berkelanjutan. 
Kesimpulan 
Budaya nongkrong di coffee shop pada Generasi Z bukan hanya tren konsumsi, melainkan bentuk transformasi sosial dan ekonomi yang lebih luas. Ruang kopi menjadi simbol perubahan gaya hidup urban, tempat pembentukan identitas, dan arena ekonomi kreatif baru.
Bagi manajemen pemasaran, fenomena ini menegaskan pentingnya pendekatan yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga nilai-nilai sosial, pengalaman emosional, dan keberlanjutan budaya. Pada akhirnya, secangkir kopi bukan lagi sekadar minuman melainkan cermin dari perubahan tatanan sosial dan paradigma baru industri kreatif diberbagai daerah. Fenomena menjamurnya coffee shop mencerminkan perubahan nilai sosial dan pola konsumsi Generasi Z yang menempatkan gaya hidup, citra, dan pengalaman sebagai bagian dari identitas sosial. Nongkrong bukan sekadar aktivitas rekreasi, tetapi juga sarana ekspresi diri dan simbol status yang memperlihatkan keterkaitan antara hedonisme dan kebutuhan akan eksistensi sosial. Coffee shop kini berperan sebagai ruang ketiga yang mempertemukan aktivitas sosial, digital, dan produktif dalam satu lanskap budaya urban. Implikasi terhadap pemasaran menuntut pelaku usaha untuk memahami bahwa keputusan konsumsi Gen Z tidak hanya didorong oleh rasa dan kualitas produk, tetapi juga estetika ruang, interaksi sosial, dan narasi gaya hidup yang ditawarkan. Oleh karena itu, manajemen pemasaran pada industri kopi modern harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial, budaya, dan keberlanjutan sebagai strategi utama agar tetap relevan dengan dinamika generasi muda yang terus berubah serta menjadikan nongkrong sebagai fenomena ekonomi dan sosial yang signifikan.

Daftar Pustaka 
Azzahra, M., Abdurahman, A. I., & Alamsyah, A. (2023). Fenomena Ngopi di Coffee Shop Pada Gen Z. Social Science Academic, 1(2), 493–506.
Bado, B., Tahir, T., & Supatminingsih, T. (2023). Studi Social Climber Gen-Z dan Perilaku Ekonominya. Journal of Economic Education and Entrepreneurship Studies, 4(1), 503–526.
Kristina, D. A., Ramadhan, F., & Noviyanti, I. (2025). Analisis Strategi Pemasaran Cafe Kinikawa Melalui Presfektif Manajemen Strategi. Holistic Journal of Management Research, 10(2), 1–15.
Kurniawan. (2024). PERILAKU NGOPI SEBAGAI GAYA HIDUP REMAJA: STUDI KASUS PENGUNJUNG KOPI DAONG PANCAWATI, BOGOR. UNUSIA.
Kusumawanti, A. D., & Chaniago, R. H. (2024). Implementasi strategi digital marketing pada perilaku Gen Z sebagai konsumen (Studi pada konsumen Interaksi Space Coffee Shop Depok). ARUNIKA: Bunga Rampai Ilmu Komunikasi, 35–41.
Lestari. (2020). Implementasi Strategi Digital Marketing Pada Perilaku Gen Z Sebagai Konsumen. 35–41.
Malini, H. (2021). Gaya konsumsi dan perilaku konsumen generasi Z di warung kopi. Prosiding Seminar Nasional SATIESP, 2020, 34–44.
Muawanah, I. (2019). Fenomena maraknya coffee shop sebagai gejala gaya hidup anak muda di kota Metro (Studi pada mahasiswa Iain Metro). IAIN Metro.
Nindhita, V., & Arifin, A. (2024). Analisis faktor penyebab fenomena ngopi dalam budaya work from cafe: Studi perilaku konsumen. Journal of Social, Culture, and Language, 2(2), 25–32.
Oldenburg, C. M., Spera, F. J., Yuen, D. A., & Sewell, G. (1989). Dynamic mixing in magma bodies: theory, simulations, and implications. Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 94(B7), 9215–9236.
Purnomo, M. E. K. J. (2025). Analisis Strategi Membangun Brand Identity di Instagram melalui Pendekatan Brand Culture (Studi pada Toko Kopi Oetama). Universitas Islam Indonesia.
Qurniawati, R. S., Indriastuti, A., & Nurohman, Y. A. (2025). Pengalaman, Brand Attitude, dan FoMo pada Perilaku Pembelian Impulsif Generasi Z Saat Berbelanja Online. Jurnal Manajemen Dayasaing, 27(1), 1–17.
Rahmat, A., Asyari, A., & Puteri, H. E. (2020). Pengaruh hedonisme dan religiusitas terhadap perilaku konsumtif mahasiswa. EKONOMIKA SYARIAH: Journal of Economic Studies, 4(1), 39–54.
Saputra, G. W. (2020). PENGARUH DIGITAL MARKETING, WORD OF MOUTH, DAN KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN. 9(7), 2596–2620.
Sofyan, N. N., Winata, N. K., Adisty, A. Z., Diva, S., Azzahra, Q. M., & Swarnawati, A. (2024). Budaya Nongkrong dan Identitas Sosial di Coffee Shop.
Hosting Unlimited Indonesia
Hosting Unlimited Indonesia
Hosting Unlimited Indonesia
© Copyright 2022 - TOPIK TERKINI