TAKALAR TOPIKTERKINI.ID- Kabupaten Takalar dikenal sebagai salah satu penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, khususnya jenis Eucheuma cottonii dan Spinosum. Namun di balik potensi ekonominya yang besar, kegiatan budidaya ini juga menimbulkan persoalan lingkungan, terutama dari limbah plastik yang digunakan dalam sistem budidaya long line. Botol bekas, jerigen, tali nilon, dan jaring plastik menjadi material utama yang jika tidak dikelola, berpotensi mencemari laut dan mengancam biota perairan.
Melihat kondisi tersebut, The Partnership for Australia–Indonesia Research (PAIR) menggandeng Universitas Hasanuddin (Unhas) bersama sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan Australia untuk mencari solusi berbasis riset dan kolaborasi multi pihak. Program ini mendapat dukungan dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan melibatkan kampus seperti UI, ITB, ITS, Universitas Sulawesi Barat, Universitas Pattimura, serta University of Queensland.
Salah satu tim PAIR yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.Sc dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, fokus pada upaya penanggulangan limbah plastik dari aktivitas budidaya rumput laut. Wilayah Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Laikang dipilih sebagai lokasi utama karena hampir seluruh warganya bergantung pada usaha rumput laut.
Tim PAIR–Unhas telah melakukan sosialisasi, pendataan pelaku usaha, hingga Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan masyarakat, pemerintah desa, penyandang disabilitas, dan kelompok swadaya masyarakat. Diskusi ini juga dihadiri berbagai instansi daerah seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta sejumlah LSM lokal seperti Pasir Putih, Formasi, dan Pemuda Pesisir Laikang.
Dalam pemaparannya, Prof. Shinta menekankan pentingnya sinergi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam mengatasi masalah limbah plastik. Ia berharap program PAIR dapat terus berlanjut hingga 2027 dan melahirkan kelompok swadaya masyarakat yang mampu mengelola sampah secara mandiri dan berkelanjutan. “Kami ingin masyarakat pesisir tidak hanya menjadi pelaku budidaya, tetapi juga pengelola lingkungan yang bijak,” ujarnya.
Dari hasil dua kali FGD, para peserta sepakat bahwa penanganan limbah plastik harus dilakukan secara kolaboratif. Beberapa rekomendasi muncul, antara lain pembatasan penggunaan plastik dalam budidaya, riset bahan pengganti botol plastik, serta pendampingan kelompok pengelola sampah agar bisa menjadikan limbah sebagai sumber ekonomi alternatif.
Program ini diharapkan menjadi langkah nyata menuju ekonomi sirkular di tingkat lokal. Edukasi, pelatihan, dan penerapan teknologi pengolahan sampah bernilai ekonomis diyakini dapat membantu masyarakat Laikang mengurangi pencemaran laut sekaligus meningkatkan kesejahteraan. “Kami optimistis kolaborasi ini bisa menjadi model nasional dalam pengelolaan limbah plastik berbasis masyarakat,” tutup Prof. Shinta.
(*)

Social Header